Perkembangan AI di bidang medis terus meningkat, Perlu antisipasi regulasi dan aturan pemanfaatannya agar bermanfaat untuk peningkatan kesehatan masyarakat. |
OMAIdigital.id- Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) di bidang medis terus berkembang. Sebuah kabar menggembirakan dalam rangka meningkatkan deteksi penyakit sehingga proses penyembuhan atau pencegahannya dapat dilakukan sedini mungkin.
Sebuah penelitian Library of Medicine pada 2023 menyebutkan tingkat keakuratan Artificial Intelligence (AI) dalam mendeteksi penyakit rata-rata mencapai 90%, meskipun presentasenya bervariasi.
Keberagaman presentase tersebut menunjukkan peran tenaga medis masih diperlukan, karena tidak dapat tergantikan oleh AI.
AI memiliki potensi untuk mendiagnosis dan mendeteksi dini penyakit tidak menular, oleh sebab itu penelitian dan pengembangan berkelanjutan riset AI masih perlu dilakukan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk berbagi informasi ilmiah dalam melaksanakan riset dan inovasi tepat guna dan sesuai kebutuhan. Sehingga dapat meningkatkan efisiensi, akurasi, dan kualitas layanan yang lebih baik dan inklusi.
Hal diatas dikemukakan oleh Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti saat membuka webinar bertajuk Pemanfaatan AI dalam Penguatan Pelayanan Kesehatan Penyakit Tidak Menular," pada Kamis, 1 Agustus 2024.
- Berita Terkait: Lihat Bagaimana OMAI Sukses Mendunia, Ternyata Juga Memanfaatkan Artificial Intelligence
- Berita Terkait: Produsen OBA Mendapat Apresiasi Badan POM, OMAI Fitofarmaka Masuk JKN untuk Kemandirian Obat
- Berita Terkait: Babak Baru Dokter Meresepkan Obat Bahan Alam di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Dalam studi literatur yang dipublikasikan oleh Estiko Rijanto, Peneliti Pusat Riset Mekatronika Cerdas BRIN mengungkapkan, AI dapat dimanfaatkan untuk membantu memprediksi penyakit tidak menular, khususnya terkait penapisan hipertensi. Ini merupakan kolaborasi dengan tim medis pada Mei 2024 yang abstraknya terbit dalam suplemen Journal of Hypertension.
"Salah satu referensi kajian ini merujuk pada publikasi S. Koshimizu, yaitu sistem pengukuran tekanan darah berbasis AI. Hal ini memungkinkan pemantauan tekanan darah pasien secara terus menerus di luar rumah sakit. Ilustrasinya pengukuran indikator input terkait gaya hidup, lingkungan, dan genome.
Kemudian disimulasikan dalam model AI, dan menghasilkan output dengan memanfaatkan instrumen digital untuk mengukur tekanan darah," ucap Estiko seperti dikutip di laman web BRIN.
Estiko menambahkan, pengelolaan hipertensi akan membantu dokter klinis dalam memantau pasien sebelum terdeteksi mengalami hipertensi. Penanganan berbasis prediksi tersebut dapat menekan risiko pasien mengalami penyakit kardiovaskuler. Perlu diingat, sistem ini tidak dapat mengganti peran dokter yang sifatnya bukan subtitusi, namun komplementer.
Pengalaman riset lainnya juga dipaparkan Estiko terkait hipertensi studi potong lintang. Tujuan riset dilakukan untuk mengamati hipertensi menggunakan faktor risiko yang mudah diperoleh dan murah, serta dapat diterapkan di pusat kesehatan masyarakat seluruh Indonesia.
Metode riset ini memakai data lebih dari 250.000 peserta, terdaftar di pos binaan terpadu penyakit tidak menular (POSBINDU PTM) seluruh Indonesia.
"Kami juga melakukan riset analisis kesintasan atau tingkat kelangsungan hidup pasien hipertensi berbasis data set pseudo kohor. Tujuan riset ini untuk memprediksi kesintasan sampai terjadi perubahan status hipertensi.
Metode diolah dari data dasar, dan data pemantauan selama beberapa waktu menggunakan algoritma AI, dan metode tradisional sebagai pembanding" Estiko menambahkan.
Estiko menambahkan, riset AI terkini yang dilakukannya adalah riset prediksi penyakit kardiovaskular berbasis studi longitudinal pada 2024 hingga sekarang, dari awal dan lanjutan.
Salah satu referensi riset ini menampilkan model prediksi tekanan darah sistolik dengan rata-rata dan deviasi standar untuk empat minggu ke depan. Berbasis data, deret waktu beberapa hari dan data konteks dari 280 peserta.
"Riset AI ini sifatnya berkelanjutan, risetnya juga berlanjut, namun ada implementasinya. Selain itu kerja sama antar pihak juga sangat diperlukan, baik dengan komunitas.
Selanjutnya, masyarakat sebagai subjek pelayanan, akademisi/periset sebagai eksekutor riset, pihak industri (misalnya penyedia data center), dan pihak regulator," Estiko menambahkan. Redaksi OMAIdigital.id