![]() |
Prof. Raymond Tjandrawinata pada event "16th Annual Meeting of the WHO-International Regulatory Cooperation for Herbal Medicines (IRCH)" 2025. |
OMAIdigital.id- Prof. Raymond Tjandrawinata menulis artikel berjudul "Keluar dari Perangkap Obat Inovatif Mahal" yang mengupas secara komprehensif, bagaimana strategi untuk keluar dari perangkap obat inovatif yang mahal.
Prof. Raymond Tjandrawinata (Dosen dan Peneliti) adalah Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Resipien Habibie Award dan WIPO Award, Kandidat Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan.
Artikel ini dimuat di Kompas.com (20 Oktober 2025). Berikut artikel lengkapnya:
LONJAKAN harga obat inovatif kini menjadi paradoks global dalam sistem kesehatan modern. Kemajuan teknologi biomedis menghadirkan terapi yang mampu menyembuhkan penyakit yang dulunya tak tertangani.
Namun bersamaan dengan itu, biaya pengobatan melonjak ke titik yang tak terjangkau oleh sebagian besar populasi dunia.
Di Indonesia, ketegangan antara akses publik dan keberlanjutan fiskal mulai terasa nyata dalam data klaim BPJS Kesehatan yang terus meningkat untuk penyakit katastropik. Obat-obatan kanker, penyakit jantung, diabetes, dan gangguan ginjal kronis menyerap proporsi terbesar dari anggaran.
Kenaikan ini tidak semata mencerminkan keberhasilan deteksi dini atau peningkatan pelayanan, tetapi juga biaya unit terapi yang terus naik karena inovasi farmasi yang semakin mahal dan sistem pengadaan yang masih konvensional. Dalam konteks sosial, masyarakat kini hidup dalam era paradoks medis.
Di satu sisi, harapan hidup meningkat karena sains mampu memperpanjang usia dan kualitas hidup. Di sisi lain, kesenjangan akses semakin menganga karena biaya pengobatan yang melampaui kemampuan negara dan individu. Di berbagai rumah sakit besar, dokter menghadapi dilema moral setiap hari: memilih terapi terbaik yang tersedia di pasar atau terapi yang realistis sesuai plafon BPJS.
Dilema ini sesungguhnya bukan semata klinis, melainkan juga politis dan ekonomis. Baca berita tanpa iklan. Ketika negara menjanjikan jaminan kesehatan universal, janji itu akan kehilangan maknanya jika obat yang terbukti efektif secara ilmiah tidak dapat dijangkau.
Pertanyaannya pun muncul: bagaimana negara seperti Indonesia dapat menjamin keadilan akses terhadap terapi mutakhir tanpa menghancurkan stabilitas fiskal? Kebuntuan ini mengantar kita pada inti persoalan: industri farmasi global beroperasi dalam logika ekonomi yang menempatkan inovasi sebagai komoditas premium.
Investasi riset dan pengembangan yang mencapai miliaran dollar AS untuk setiap molekul baru menimbulkan argumentasi kuat dari produsen untuk mempertahankan harga tinggi demi menutup biaya dan menyiapkan modal riset berikutnya. Namun, dari perspektif publik, pendekatan itu menciptakan eksklusi terhadap kelompok rentan.
Dalam situasi demikian, negara dituntut memiliki posisi negosiasi yang cerdas, bukan hanya sebagai pembeli, tetapi juga sebagai pengatur tata kelola ekonomi obat. Teori yang relevan untuk membaca situasi ini adalah teori keadilan distributif dalam ekonomi kesehatan. Pijakannya pada gagasan bahwa sumber daya publik yang terbatas harus dialokasikan untuk mencapai manfaat kesehatan terbesar bagi populasi secara keseluruhan.
Cost-effectiveness: Moral Ekonomi Kebijakan Sektor Kesehatan
Prinsip cost-effectiveness menjadi moral ekonomi dari kebijakan publik di sektor kesehatan: setiap rupiah yang dikeluarkan negara seharusnya menghasilkan manfaat kesehatan maksimum. Namun, dalam praktiknya, teori ini sering berbenturan dengan logika pasar yang digerakkan oleh paten dan lisensi eksklusif.
Ketika perusahaan memegang monopoli atas molekul baru, prinsip keadilan distributif kehilangan daya karena negara tidak punya ruang negosiasi yang memadai. Kasus nyata yang dapat dijadikan cermin adalah pengadaan terapi Hepatitis C di beberapa negara. Amerika Serikat melalui negara bagian Louisiana memperkenalkan model langganan yang dikenal sebagai "Netflix model".
Pemerintah membayar biaya tetap tahunan kepada perusahaan farmasi, memungkinkan ribuan pasien mendapat pengobatan tanpa lonjakan biaya tahunan. Model ini memberi stabilitas fiskal sekaligus kepastian bagi pasien. Namun, keberhasilannya menuntut dua prasyarat yang belum tentu dimiliki semua negara: dana awal yang besar dan sistem data yang solid untuk memantau efektivitas terapi.
Tanpa dua hal ini, mekanisme langganan dapat berbalik menjadi jebakan biaya tersembunyi. Berbeda dari pendekatan Amerika, negara-negara Asia seperti Thailand dan India memilih jalan regulasi ketat dan produksi generik untuk mengendalikan harga.
Mereka menggunakan lisensi wajib (compulsory licensing) untuk membebaskan paten demi produksi lokal.Strategi ini berhasil menurunkan harga obat hingga puluhan kali lipat.
Namun sering kali menunda akses terhadap obat baru karena harus menunggu masa paten berakhir atau perizinan generik terbit. Dalam konteks penyakit yang progresif cepat seperti kanker, waktu menjadi faktor yang menentukan antara hidup dan mati.
Model ini efektif menekan harga, tapi kurang adaptif terhadap kebutuhan terapi segera. Jepang, Korea Selatan, dan China mengambil jalan tengah dengan mengembangkan sistem Health Technology Assessment (HTA).
Melalui HTA, setiap obat baru dinilai bukan hanya berdasarkan khasiat klinis, tetapi juga nilai ekonomi dan sosialnya.
Keputusan apakah obat tersebut akan diganti oleh asuransi publik bergantung pada nilai tambah yang terbukti. Pendekatan ini menempatkan sains dan kebijakan dalam posisi yang saling mengoreksi.
Namun, ia juga menimbulkan Namun, ia juga menimbulkan perdebatan etis: sejauh mana nilai hidup manusia dapat dihitung secara ekonomis? Perdebatan ini masih berlangsung di banyak parlemen dunia dan belum menemukan keseimbangan yang memuaskan. Dari berbagai model global itu, jelas terlihat bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat menjawab seluruh tantangan.
Negara memerlukan strategi hibrida yang memadukan unsur proaktif dan regulatif. Di satu sisi, negara perlu memberi insentif bagi industri agar tetap berinovasi melalui mekanisme pembelian di muka atau subscription.
Di sisi lain, pengeluaran publik harus tetap terkendali melalui evaluasi berbasis bukti seperti HTA dan mekanisme negosiasi harga yang transparan. Kombinasi dua pendekatan ini melahirkan konsep yang kini dikenal sebagai "smart procurement".
Smart procurement bukan sekadar cara membeli obat, melainkan transformasi paradigma dalam tata kelola anggaran kesehatan. Pendekatan ini mengintegrasikan tiga pilar: pembiayaan proaktif, penilaian berbasis bukti, dan negosiasi strategis. Melalui pembiayaan proaktif, pemerintah tidak lagi membeli obat berdasarkan volume permintaan tahunan semata, tetapi mengantisipasi kebutuhan masa depan dengan kontrak jangka panjang yang fleksibel.
Dalam sistem ini, risiko dibagi antara pemerintah dan industri: jika jumlah pasien lebih rendah dari perkiraan, harga dapat disesuaikan; sebaliknya, jika hasil klinis tidak sesuai target, pembayaran dapat dikurangi.
Mekanisme semacam ini dikenal sebagai risk-sharing agreement, yang kini menjadi tren di Eropa dan Asia Timur.
Indonesia sebenarnya memiliki fondasi yang cukup untuk menuju arah tersebut. Sistem e-katalog nasional telah memperkuat transparansi harga, sementara BPJS Kesehatan memberi basis data populasi yang luas untuk analisis kebutuhan. Namun, dua tantangan besar masih menghalangi.
Pertama, kapasitas kelembagaan dalam melakukan penilaian HTA masih terbatas. Kedua, koordinasi antarinstansi dalam proses negosiasi harga seringkali berjalan parsial. Ketika setiap unit bekerja dengan logika sektoralnya sendiri, efektivitas kebijakan terfragmentasi Padahal, smart procurement menuntut integrasi lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, BPJS, LKPP, dan lembaga riset.
Ketika kebijakan pengadaan masih dikelola secara administratif tanpa basis data dan analisis nilai, negara berisiko menjadi pembeli pasif di pasar global. Dalam kondisi itu, industri akan selalu lebih unggul karena memiliki informasi dan kemampuan lobi yang jauh lebih kuat. Dengan smart procurement, negara diharapkan beralih menjadi pembeli strategis: bukan hanya menawar harga, tetapi juga menegosiasikan nilai, hasil klinis, dan distribusi risiko.
Pendekatan ini membutuhkan reformasi mendalam dalam budaya birokrasi yang selama ini lebih fokus pada kepatuhan formal ketimbang efektivitas hasil. Salah satu pelajaran berharga datang dari pengadaan vaksin COVID-19. Indonesia sempat berhasil menegosiasikan harga kompetitif karena posisi tawar kolektif melalui inisiatif multilateral seperti COVAX.
Namun, begitu pandemi berakhir, mekanisme negosiasi semacam itu belum dilembagakan secara permanen. Padahal, pengalaman tersebut menunjukkan bahwa diplomasi kesehatan dapat menjadi alat strategis negara dalam menghadapi oligopoli farmasi. Ke depan, pendekatan semacam itu perlu diinstitusionalisasi dalam bentuk unit negosiasi nasional di bawah kerangka smart procurement, yang didukung oleh data HTA, analisis epidemiologi, dan evaluasi kinerja obat pascapemasaran.
Penguatan Kapasitas Nasional
Lebih jauh lagi, penguatan kapasitas nasional dalam HTA menjadi kunci. Tanpa analisis nilai yang solid, kebijakan pembelian obat berisiko jatuh pada tekanan opini publik atau promosi industri. HTA harus mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar: seberapa besar manfaat tambahan dari obat baru dibandingkan terapi lama, berapa biaya yang pantas untuk manfaat itu, dan siapa yang seharusnya menanggungnya.
Dengan menjadikan HTA sebagai fondasi keputusan fiskal, negara tidak hanya menghemat anggaran, tetapi juga membangun keadilan berbasis bukti. Namun, adopsi smart procurement tidak akan berjalan tanpa kesiapan politik. Sistem ini menuntut keberanian untuk menolak tekanan industri dan kesabaran untuk menilai efektivitas secara jangka panjang.
Dalam jangka pendek, hasilnya mungkin tidak spektakuler. Namun, dalam jangka panjang, ia membangun keberlanjutan yang menjadi fondasi sistem jaminan kesehatan nasional. Keterlibatan publik juga penting, karena kebijakan harga obat seringkali disalahpahami sebagai bentuk pembatasan akses.
Padahal sejatinya bertujuan menjaga keadilan lintas generasi: agar generasi berikutnya masih memiliki ruang fiskal untuk berobat.
Dalam praktiknya, Indonesia dapat memulai dengan memperkuat tata kelola pengadaan nasional. Pemerintah dapat membentuk mekanisme kontrak jangka menengah dengan perusahaan farmasi untuk kelompok terapi prioritas seperti kanker dan penyakit metabolik, dengan klausul evaluasi tahunan berdasarkan hasil klinis dan utilisasi.
Di sisi lain, industri lokal perlu didorong untuk meningkatkan kapasitas bioteknologi agar tidak selamanya tergantung pada impor. Produksi dalam negeri bukan hanya soal kemandirian ekonomi, tetapi juga bagian dari strategi negosiasi yang lebih kuat di meja global.
Negara dengan kapasitas produksi yang baik selalu memiliki posisi tawar lebih tinggi dalam menentukan harga. Smart procurement juga dapat diintegrasikan dengan strategi digitalisasi kesehatan nasional.
Melalui rekam medis elektronik dan big data, pemerintah dapat memantau efektivitas nyata obat di lapangan. Data ini menjadi dasar kuat dalam renegosiasi harga dan penyesuaian kontrak. Ketika kebijakan berbasis data diadopsi, transparansi meningkat dan peluang inefisiensi menurun. Hal ini bukan sekadar inovasi administratif, melainkan bentuk tanggung jawab negara terhadap uang publik.
Perjalanan menuju sistem pengadaan cerdas memang panjang dan menantang, tetapi setiap langkah kecil ke arah itu bernilai besar. Tantangan politik, birokrasi, dan kepentingan industri tidak boleh mengaburkan tujuan utama: memastikan setiap warga negara berhak atas pengobatan terbaik tanpa harus mengorbankan keberlanjutan anggaran negara.
Indonesia perlu belajar dari praktik terbaik dunia, tetapi tidak menirunya secara buta. Model Louisiana mungkin efektif untuk penyakit infeksi dengan pola terapi yang jelas.
Sementara sistem HTA Eropa cocok untuk negara dengan kapasitas data tinggi. Indonesia harus merancang versinya sendiri: sebuah model hibrida yang realistis dengan kondisi fiskal, demografi, dan tata kelola domestik.
Pada akhirnya, masalah harga obat inovatif bukan semata soal ekonomi, melainkan juga cerminan etika kebijakan publik.
Model Louisiana menyingkap sejauh mana negara memaknai hak atas kesehatan sebagai hak yang nyata, bukan retorika. Di sinilah arti sebenarnya dari smart procurement: kebijakan yang cerdas bukan karena rumit, tetapi karena mampu menyeimbangkan kepentingan yang sering bertentangan-antara inovasi dan keadilan, antara keberlanjutan dan kemanusiaan.
Dalam lanskap kesehatan global yang semakin kompetitif, kecerdasan institusional dan keberanian politik akan menentukan apakah Indonesia menjadi pemain yang tangguh atau sekadar penonton dalam permainan besar ekonomi obat.
Di tengah situasi fiskal yang ketat dan tekanan kebutuhan yang terus meningkat, pilihan untuk tidak berubah adalah risiko terbesar. Reformasi sistem pengadaan obat tidak dapat lagi ditunda. Ini bukan hanya soal penghematan, tetapi tentang mempertahankan makna keadilan sosial dalam kesehatan.
Setiap kebijakan harga, setiap kontrak pengadaan, setiap negosiasi dengan industri, pada akhirnya adalah tentang keberanian negara untuk berpihak pada warganya.
Dan dalam keberanian itulah masa depan sistem kesehatan Indonesia akan diuji-bukan oleh berapa banyak obat baru yang masuk pasar, tetapi sejauh mana obat-obat itu benar-benar menyentuh hidup mereka yang paling membutuhkan. Redaksi OMAIdigital.id