![]() |
Kebijakan Fitofarmaka masuk Fornas merupakan pintu masuk Kemandirian Kesehatan Nasional dengan memanfaatkan kekayaan Obat Bahan Alam Indonesia. |
OMAIdigital.id- Berikut ini wawancara khusus dengan Dr. dr. Slamet Sudi Santoso, MPd.Ked, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Pembinaan Obat dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Holistik PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) dengan Redaksi OMAIdigital.id menanggapi kebijakan Fitofarmaka masuk dalam Formularium Nasional (Fornas).
Dr. dr. Slamet Sudi Santoso, MPd.Ked pernah menjabat sebagai Ketua Umum PDHMI Periode 2020-2023.
Peraturan Pemerintah yang mengatur Fitofarmaka sudah dapat masuk ke dalam Formularium Nasional (Fornas) disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin pada saat memberikan keterangan pers di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat, 2 Mei 2024.
Dalam PP tersebut disebutkan bahwa Fitofarmaka sudah dapat masuk ke dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional.
Fitofarmaka yang dalam beberapa tahun terakhir dibranding sebagai OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) adalah obat bahan alam asli Indonesia yang telah melalui uji pra klinis dan uji klinis sehingga memiliki evidence based tentang khasiat dari OMAI tersebut.
Dikutip dari laman kompas.id disebutkan bahwa Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa penyusunan peraturan pemerintah (PP) terkait penggunaan dan pengembangan Fitofarmaka sudah selesai. PP tersebut menyebutkan bahwa Fitofarmaka sudah dapat masuk ke dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional.
"PP sudah selesai. Ini pulang, saya paraf, dan menteri-menteri lainnya," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Rabu (29/5/2024), di Geneva, Swiss seperti dikutip kompas.id
Budi mengatakan, PP tersebut mengatur persoalan kesehatan secara umum, termasuk mencantumkan penggunaan dan pengembangan Fitofarmaka. Salah satunya dengan memasukkan Fitofarmaka ke dalam Formularium Nasional (Fornas) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Tentu Fitofarmaka untuk bisa masuk Fornas harus mengikuti mekanisme yang sama dengan obat-obat kimia yang lain," kata Budi.
- Berita Terkait: Diekspor Di Beberapa Benua dan Banyak Negara, Produk Herbal OMAI Makin Mendunia
- Berita Terkait: Kemenkes Gelar Forum Hilirisasi dan Optimalisasi Penggunaan Fitofarmaka di Pelayanan Kesehatan
- Berita Terkait: OMAI Semakin Kokoh Di Pasar Global, Diresepkan Dokter Kamboja Sejak 2011
Pertimbangan untuk Fitofarmaka juga sama dengan obat-obat berbahan baku kimia. Pertimbangan itu, antara lain, perlu pertimbangan asas rasio kemanfaatan dan harga (cost benefit ratio) yang sesuai.
Dibawah ini adalah wawancara tertulis dengan Dr. dr. Slamet Sudi Santoso, MPd.Ked, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Pembinaan Obat dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Holistik PB IDI:
(Tanya) 1: Apa pandangan dokter tentang Fitofarmaka masuk Fornas?
(Jawab): Pada Latar Belakang dari Buku Formularium Fitofarmaka tertulis bahwa Pengembangan dan Peningkatan produksi Fitofarmaka perlu didukung dengan peningkatan penggunaan Fitofarmaka. Penggunaan Fitofarmaka dan OHT- Obat Herbal Terstandar di fasilitas Pelayanan Kesehatan, dengan masuknya Fitofarmaka dalam FORNAS maka sejalan dengan tujuan dalam buku Formularium Fitofarmaka, sebagai berikut bahwa tujuannya adalah:
a.Tersedianya informasi Fitofarmaka sebagai pilihan alternatif dalam membantu pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan.
b.Mendapatkan Fitofarmaka terpilih yang tepat, aman, bermutu, berkhasiat, dan terjangkau.
c.Meningkatkan utilisasi atau tingkat pemanfaatan Fitofarmaka sebagai upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Selain itu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia Pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penyediaan Fitofarmaka sebagai hasil produksi dalam negeri perlu ditingkatkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
(Tanya) 2: Agar kebijakan tersebut dapat segera diimplementasikan bagaimana sebaiknya?
(Jawab): a.Kemenkes memiliki Rumah Sakit pemerintah (RS Vertikal) sebaiknya dibuat juga regulasi penetapan bahwa Fitofarmaka masuk dalam Panduan Prakktek Klinik (PPK) di semua RS milik pemerintah, RS swasta dan menentukan RAB pengadaannya. Jika Fitofarmaka masuk dalam PPK RS maka obat yang ada saat ini dari 5 jenis kategori Fitofarmaka di resepkan dokter dalam layanan kesehatan.
b.Sosialisasi dan instruksi pemanfaatan Fitofarmaka dalam layanan kesehatan.
(Tanya) 3: Apakah kebijakan tersebut ada kendala untuk pelaksanaannya?
(Jawab) a.Kendala pasti ada jika pemangku kepentingan tidak bersama ikut mendukung kebijakan ini.
b.Ketersediaan dan keberlanjutan sumber bahan baku obat alam tidak tersedia atau tidak ada pembudidayaan yang sesuai standarisasi.
c.Perlu inovasi pengembangan jenis Fitfarmaka baru seuai dengan kebutuhan jenis penyakit yang ada.
d.Edukasi pemahaman Fitofarmaka di masyarakat bahwa obat ini aman, bermutu dan berkhasiat.
(Tanya) 4: Bagaimana para dokter. sebaiknya menyikapi hal ini?
(Jawab): Menyikapinya bahwa telah terjadi transformasi sistem kesehatan dilakukan untuk memperbaiki permasalahan kesehatan sebagai upaya layanan kesehatan yang prima sehingga meningkatkan kapasitas dan resiliensi sistem kesehatan.
Transformasi ini didukung oleh 6 pilar, yaitu transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.
Pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan terdiri dari meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan serta memperkuat ketahanan tanggap darurat. Salah satu program prioritas untuk meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan adalah riset dan uji klinik bahan baku obat, obat, dan obat tradisional produksi dalam negeri dan produksi fitofarmaka dalam negeri. Prinsipnya adalah:
a.Memiliki izin edar dan klaim khasiat yang disetujui BPOM sebagai Fitofarmaka.
b.Memiliki khasiat dan keamanan berdasarkan bukti ilmiah sahih dan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan indikasi penggunaan dan aturan pakai yang tercantum dalam Formularium Fitofarmaka. Dan juga memperhatikan kontraindikasi, peringatan perhatian, efek samping dan kombinasi dengan obat lain.
c.Digunakan untuk promotif, preventif, rehabilitatif, kuratif, dan paliatif.
d.Memiliki pengembangan dan penemuam jenis dan jumlah Fitofarmaka baru dengan tingkat pembuktian (level of evidence). e.Ketersediaan di apotik.
f.Sosialisasi keseluruh dokter dan masyarakat tentang obat Fitofarmaka dengan demikian diharapkan pasien mendapatkan Fitofarmaka yang tepat, aman, bermutu, berkhasiat, dan terjangkau.
(Tanya) 5: Fitofarmaka masuk Fornas dan dapat diakses oleh peserta JKN BPJS Kesehatan, akankah dapat jadi awal obat bahan alam yang sudah memiliki evidence based dapat menjadi upaya kemandirian kesehatan?
(Jawab): Sesusai Pasal 322 UU 17 tahun 2023 sdh dikatakan bahwa: (1). Sumber Sediaan Farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat, memenuhi ketentuanjaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan arnan digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/ atau perawatan, serta pemeliharaan Kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
Pasal 323: (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong dan mengarahkan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
(2) Penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dilakukan dengan memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, sumber daya alam, norma agama, dan sosial budaya.
Semakin jelas dalam Pasal 325, bahwa Penelitian dan pengembangan Obat Bahan Alam bertqjuan untuk:
a.Mewujudkan kemandirian industri farmasi nasional guna mendukung ketahanan kefarmasian.
b.Memanfaatkan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan dalam peningkatan ilmu pengetahuan dan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan.
c.Menjamin pengelolaan potensi alam sehingga mempunyaidaya saing yang tinggr sebagai sumber ekonomi masyarakat.
(Tanya) 6: Jika dikomparasikan dengan negara lain, seperti apa perbedaan kebijakan Fitofarmaka masuk Fornas?
(Jawab): Setiap regulasi penetapan obat yang di pakai mempunyai regulasi tersendiri, di Indonesia hanya memiliki regulasi satu layanan kesehatan dan layanan kesehatan konvensional terintegrasi (Permenkes No. 37 tahun 2017).
Secara umum WHO mengkategorikan pola penggunaan pelayanan kesehatan tradisional di dunia dalam 3 (tiga) pola yaitu:
a.Digunakan di negara-negara di mana pengobatan tradisional adalah salah satu sumber utama dalam pelayanan kesehatan. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara yang ketersediaan dan/atau aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan kedokteran berbasis konvensional, secara umum masih sangat terbatas.
Meluasnya penggunaan pengobatan tradisional di Afrika dan beberapa negara berkembang lainnya dapat dikaitkan dengan keberadaaan pengobatan tradisional yang ada di lapangan dan mudah terjangkau. Sebagai contoh, rasio pengobat tradisional dibandingkan dengan penduduk di Afrika adalah 1:500, sedangkan rasio dokter dengan penduduk adalah 1:40 000. Bagi jutaan orang di daerah pedesaan, pengobat tradisional merupakan penyedia layanan kesehatan yang tetap bagi mereka.
b.Penggunaan pengobatan tradisional berkaitan dengan pengaruh budaya dan sejarah. Di beberapa negara seperti Singapura dan Korea Selatan yang sistem pelayanan kesehatan konvensional sudah cukup mapan, 76% - 86% dari populasi penduduknya masih memanfaatkan pelayanan pengobatan tradisional.
c.Penggunaan pengobatan tradisional dan komplementer sebagai terapi komplementer. Hal ini biasa berkembang di negara-negara maju dimana struktur sistem kesehatan sudah berkembang dengan pesat.
Upaya PB IDI dalam implementasi pemanfaatan Fitofarmaka sudah di lakukan sosialisasi kegiatan dalam bentuk seminar series Peran Dokter dalam Pemanfaatan Fitofarmaka untuk Pelayanan Kesehatan, diselenggarakan mulai Januari 2023 sampai Agustus 2023 di Kota Provinsi wilayah kerja Pengurus IDI Wilayah :
- DKI Jakarta
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Sumatera Utara
- Sumatera Selatan
Setiap wilayah provinsi masing- masing dihadiri peserta 200 hingga 300 dokter anggota IDI Cabang Wilayah, Narasumber yang terlibat dari Kemenkes, BPOM Propinsi, Dokter praktisi /Pengguna Fitofarmaka/Perusahaan farmasi (CPOTB), Peneliti Fitofarmaka.
Untuk implementasi pelaksanaan penggunaannya maka diperlukan komitmen mengawal dan mengawasi kebijakan ini, agar dapat terwujud kemandirian farmasi. Redaksi OMAIdigital.id