Bagaimana Masa Depan Fitofarmaka di Indonesia
Tanggal Posting : Kamis, 19 Juni 2025 | 09:07
Liputan : Redaksi OMAIdigital.id - Dibaca : 526 Kali
Bagaimana Masa Depan Fitofarmaka di Indonesia
Masa Depan Pengembangan Fitofarmaka di Indonesia dapat menjadi tolok ukur Kemandirian Farmasi Indonesia.

OMAIdigital.id- Damia Liana- Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Setjen DPR RI) menulis artikel di Buletin APBN Vol. VII. Ed. 6, April 2022 (halaman 8-11) berjudul "Tantangan Pengembangan Fitofarmaka di Indonesia".

Berikut ini, ringkasannya, yang masih relevan sebagai bahan rujukan, untuk pengembangan Fitofamaka ke depan, sehingga menjadi kekuatan Indonesia dalam pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia:

Fitofarmaka dapat menjadi alternatif untuk substitusi dari obat kimia kepada obat herbal, sehingga ke depannya, Indonesia tidak lagi bergantung pada impor bahan baku obat. Kekayaan spesies tumbuhan dan sumber daya laut yang dapat diolah untuk obat herbal merupakan modal bagi Indonesia untuk mengembangkan fitofarmaka.

Selain itu, pola konsumsi masyarakat Indonesia yang masih bergantung pada obat herbal dan juga terbukanya peluang di pasar internasional merupakan potensi bagi pengembangan fitofarmaka ini. Namun tentunya, pengembangan fitofarmaka tidaklah semudah yang dibayangkan, dimana masih terdapat tantangan yang masih harus dihadapi oleh Indonesia, seperti pendanaan penelitian, waktu pengembangan yang lama, serta pemasaran fitofarmaka

Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat ini pada dasarnya dapat ditengahi dengan pengembangan obat berbahan baku herbal yang dapat menggantikan obat berbahan baku kimia. Pengembangan obat herbal ini tentunya didukung dengan tersedianya bahan baku yang sangat melimpah di Indonesia.

Menurut catatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan dan sumber daya laut yang dapat diolah untuk obat herbal (BPOM, 2020). Selain itu, menurut Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, seperti jahe, lempuyang, pala, dan nilam. Tanaman tersebut merupakan modal utama untuk memproduksi obat herbal (Kontan, 2020).

Produksi tanaman obat herbal menjadi obat modern asli Indonesia (OMAI) atau fitofarmaka akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan juga memiliki daya saing yang lebih kuat di pasar domestik maupun internasional.

Fitofarmaka adalah obat dengan kandungan bahan alami yang sudah terbukti keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji pra-klinis dan uji klinis, sehingga dapat dijadikan sebagai substitusi dari obat berbahan kimia. Sejalan dengan hal ini, BPOM mengatakan bahwa obat bahan alam fitofarmaka dapat dijadikan sebagai pengganti obat kimia, sehingga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat dari luar negeri.

Berdasarkan catatan BPOM, hingga akhir tahun 2021, sudah ada sekitar 35 fitofarmaka yang memiliki Nomor Izin Edar (NIE). PT Dexa Medica, sebagai salah satu perusahaan industri pengembang obat herbal, juga mengatakan bahwa fitofarmaka saat ini sudah semakin berkembang.

Hal ini didukung dengan penggunaan fitofarmaka di dunia kedokteran yang sudah dimulai sejak tahun 2018 dan sudah diresepkan oleh lebih dari 17.000 dokter. PT Dexa Medica sendiri sudah memiliki 22 jenis produk fitofarmaka (Bisnis.com, 2022).

Namun dalam perjalanannya, pengembangan fitofarmaka masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan serta dibentuknya satgas Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka oleh BPOM diharapkan mampu mendorong pengembangan fitofarmaka di Indonesia.

Mengenal Fitofarmaka dan Potensinya di Indonesia

Fitofarmaka merupakan salah satu jenis obat tradisional yang bahan baku dan produknya sudah terstandardisasi. Sebagai contoh obat fitofarmaka yang sudah beredar di Indonesia, misalnya seperti Stimuno, yang berkhasiat meningkatkan kekebalan tubuh. Obat ini bahkan sudah merambah pasar ASEAN, seperti Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Selanjutnya adalah Tensigardyang berkhasiat meringankan tekanan darah tinggi dan kolestrol. Obat ini dibuat dari ekstra seledri dan kumis kucing.

Potensi pengembangan fitofarmaka di Indonesia turut didukung dengan perilaku masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih lebih memilih pengobatan tradisional berbahan alami. Obat-obatan herbal dipercaya memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat kimia. Jika merujuk pada data BPS (2020), bahan baku untuk membuat fitofarmaka tersedia lebih dari cukup, seperti jahe, kunyit, temulawak, dan lainnya.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil jahe terbesar di dunia, yaitu menduduki posisi ke 5 pada tahun 2019 dengan total produksijahe, ketersediaan kunyit juga sangat melimpah di Indonesia, dimana kunyit dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Data Statistik Hortikultura (2020) mencatat bahwa produksi kunyit mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu dari 107,77 ribu ton pada 2016 menjadi 193,58 ribu ton pada 2020. Begitu pun dengan produksi temulawak yang mengalami pertumbuhan dari 22 ribu ton pada tahun 2016 menjadi 27 ribu ton pada tahun 2020.

Apabila fitofarmaka dapat dikembangkan dan di produksi secara masal, maka tujuan Indonesia untuk mengurangi impor bahan baku obat sebesar 20 persen, yaitu dari 95 persen menjadi 75 persen, dalam 4 tahun ke depan dapat segera terwujud.

Pangsa pasar obat herbal di Indonesia sendiri juga selalu mengalami peningkatan, dimana menurut Kementerian Kesehatan (2018), pasar obat herbal meningkat dari Rp. 5 triliun pada 2006 menjadi Rp. 7,2 triliun pada 2018 (Universitas Indonesia, 2018).

Selain pasar Indonesia, obat herbal juga memiliki tempat pada pasar internasional. WHO (2022) memprediksi bahwa sekitar 80 persen populasi dunia masih menggunakan pengobatan tradisional yang berbahan alami.

Khan dan Ahmad (2019), dalam penelitiannya, menyatakan bahwa industri obat herbal memiliki pangsa pasar hingga USD100 juta dengan laju pertumbuhan sekitar 15 persen per tahun untuk perdagangan tanaman obat, bahan baku herbal, dan obat herbal.

Potensi obat herbal di Indonesia juga dapat dilihat dari ekspornya, dimana menurut catatan Kementerian Pertanian (2021), ekspor tanaman obat pada tahun 2020 mengalami pertumbuhan diakibatkan karena naiknya permintaan tanaman obat yang dapat meningkatkan imunitas tubuh untuk melawan Covid-19.

Hal ini tentunya menjadi potensi yang bagus bagi Indonesia untuk membidik ekspor obat herbal, terutama fitofarmaka, di pasar internasional. Sejalan dengan hal ini, Direktur Eksekutif Dexa Laboratories, Dr. Raymond, juga mengungkapkan bahwa ketidakpastian dalam pengembangan fitofarmaka jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan obat generik, dimana terdapat risiko gagal dan pengeluaran lebih tinggi dari yang dianggarkan.

Dari pengalaman Dexa, dibutuhkan waktu 4-6 tahun untuk menghasilkan satu produk fitofarmaka. Argumen ini diperkuat oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa pengembangan fitofarmaka membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang panjang.

Selain itu, menurut Bambang Brodjonegoro, tidak masuknya fitofarmaka ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasionalpenyebab sulitnya fitofarmaka untuk berkembang di Indonesia. Penyerapan dan pemanfaatan produk yang tidak pasti menyebabkan investor enggan untuk berinvestasi dalam pengembangan fitofarmaka.

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 54/2018 tentang Penyusunan Dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, obat berbahan alam tidak dapat digunakan dalam program JKN.

Hal ini membuat investor ragu untuk berinvestasi pada pengembangan fitofarmaka karena ketidakpastian pasarnya. Seharusnya obat fitofarmaka dapat digunakan sebagai obat herbal yang dimasukkan ke dalam program JKN seperti yang dilakukan oleh negara lain seperti India, China, Jepang, dan Taiwan (Bisnis.com, 2022).

Rekomendasi

Pengembangan fitofarmaka di Indonesia dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah dalam mengatasi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat. Untuk itu, perlu adanya perhatian pemerintah agar fitofarmaka mempunyai akses yang lebih luas pada pasar domestik maupun global.

Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain, pertama, pemerintah diharapkan mampu untuk mendorong keterlibatan swasta dalam penelitian fitofarmaka. Hal ini tentunya akan mempercepat proses uji klinis fitofarmaka. Tentunya swasta lebih mampu membaca kebutuhan pasar dan obat yang paling dibutuhkan pasar, sehingga pengembangan fitofarmaka dapat berfokus pada obat yang dapat bersaing di pasar.

Kedua, pemerintah juga perlu untuk segera merevisi aturan terkait penggunaan fitofarmaka dalam program JKN. Masuknya obat fitofarmaka ke dalam program JKN diharapkan mampu untuk menarik minat investor karena sudah adanya kepastian pasar bagi pengusaha fitofarmaka. Redaksi OMAIdigital.id


Kolom Komentar
Berita Terkait

Copyright 2024. All Right Reserved

@omaidigital.id

MENULIS sesuai FAKTA, MENGABARKAN dengan NURANI

Istagram dan Youtube: