![]() |
Sejumlah Menteri dan Kepala BPOM- memberikan pernyataan tentang OMAI dengan berbagai penekanan: Kemandirian obat nasional, Substitusi bahan baku obat, Nilai tambah ekonomi dan Pemanfaatan di JKN. |
OMAIdigital.id- Pandemi COVID-19 mengguncang dunia. Hingga bulan November 2020 ini- belum ditemukan obatnya. Kini, vaksinnya sedang diriset oleh berbagai perusahaan- memasuki babak-baak akhir uji klinis Fase 3. Kehadirannya digadang-gadang untuk menangkal penyebaran COVID-19.
Sejak pandemi COVID-19 berembus dari Kota Wuhan- China pada Desember 2019, kemudian menyebar ke penjuru dunia, masyarakat dunia dipaksa untuk meningkatkan sistem imunitas tubuhnya. Ini satu-satunya cara tindakan preventif, karena belum ada obat COVID-19 dan Vaksin COVID-19.
Tumpuan masyarakat dunia, agar terhindar dari paparan virus melalui droplet adalah memakai masker, menjaga jarak, dan gaya hidup yang bersih, sehat dan seimbang. Inilah cara yang disepakati para tenaga kesehatan dunia untuk mereda penularan vrus COVID1-19.
Parah ahli kesehatan di dunia sepakat, bahwa daya tahan tubuh yang prima adalah benteng terakhir agar manusia kuat menangkal virus ketika tubuh terpapar virus COVID-19. Kekebalan tubuh seseorang atau sistem imunitas tubuh adalah ’senjata’ andalan untuk menangkal virus yang muncul pertama kali di Wuhan China ini.
- Berita Terkait: OMAI Konsep Bersama Brand Obat Herbal Indonesia
- Berita Terkait: Bioekonomi Pengembangan OMAI untuk Substitusi Impor
- Berita Terkait: Kisah Sukses DLBS Dexa Medica Riset Obat Herbal Bioactive Fraction
Diantara sekian banyak cara untuk mendongkrak imunitas tubuh, diantaranya adalah mengkonsumsi herbal yang memiliki khasiat imunomodulator. Bersyukur, Indonesia adalah ’gudangnya’ tanaman obat dan juga banyak yang memiliki khasiat untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Ibaratnya a blessing in disguise- suatu hal baik atau berkah yang didapat dari suatu kejadian yang tidak kita harapkan yaitu wabah virus COVID-19.
Sumbangan Jamu dalam perekonomian nasional: Angka penjualan Jamu sekitar Rp. 20 triliun, dan yang diekspor sekitar USD 30 juta. Nilai ekonomi Jamu Indonesia dapat berupa bahan Jamu, produk Jamu, produk jamu kosmetik.
Manfaatnya juga ’tak terhitung’ sangat besar: untuk Kesehatan, kebugaran, imunitas, kecantikan, kebanggaan warisan leluhur yang terjaga dan terus berkembang di era modern saat ini. Pada saat pandemi COVID-19 ini, peran tanaman obat yang diracik menjadi jamu atau obat herbal sangat penting kehadirannya.
Potensi bahan alam di Indonesia- kekayaan hayati (biodiversitas) yang berkhasiat obat dapat ditinjau dari sejumlah aspek, yaitu: genetic resources, traditional knowledge, herbal medicine product.
Aspek genetic resources merujuk pada keanekaragaman hayati di Indonesia. Dengan lebih dari 30.000 spesies tanaman, Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversitas ke-5 di dunia (LIPI, 2015). Sedangkan aspek traditional knowledge didasarkan pada hasil penghimpunan informasi oleh Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA).
Menurut data yang diperoleh RISTOJA, terdapat sekitar 25.821 ramuan dan 2.670 spesies tumbuhan obat. Data tersebut diperoleh setelah meneliti 303 etnis yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia (Laporan Ristoja B2P2TOOT, 2015).
Kemudian melalui aspek herbal medicine product dapat melihat jumlah NIE (Nomor Ijin Edar) obat tradisional. Data yang tersedia hingga September 2018, sebanyak 10.688 NIE (data base Badan POM). Dan kurang dari 5.000 simplisia yang digunakan untuk memproduksi obat tradisional.
Ini benar-benar potensi yang dahsyat. Jamu harusnya jadi muatan kapal ekspor non migas, juga menjadi ’senjata’ penembus pasar global ditengah era back to nature masyarakat dunia. Tidak banyak negara dengan potensi sehebat Indonesia. Lantas mengapa jamu Indonesia belum naik kelas menjadi bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
FLAGSHIP OMAI Pada Sistem JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Keterangan Foto: Karyanto, Founder JamuDigital.
Flagship artinya adalah produk/jasa yang paling menunjukkan value, keunggulan, keahlian, dan keunikan dari produk/jasa tersebut. Flagship OMAI adalah produk obat herbal yang sudah teruji pra klinis, atau uji klinis yang diriset oleh peneliti Indonesia dari bahan alam asli Indonesia, kemudian diproduksi oleh perusahaan nasional, sehingga memiliki value, keunggulan dan keunikan.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo saat membuka Rakernas Ikatan Apoteker Indonesia mengajak seluruh pihak terkait untuk bersama melakukan reformasi sistem kesehatan nasional secara besar-besaran. Reformasi tersebut juga mencakup kemandirian obat dan bahan baku obat yang diharapkan dapat segera dicapai.
"Kita tahu bahwa sekitar 90 persen obat dan bahan baku obat masih mengandalkan impor. Padahal negara kita sangat kaya dengan keberagaman hayati baik di daratan maupun di lautan. Hal ini jelas memboroskan devisa negara, menambah defisit neraca transaksi berjalan, dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik," ujarnya dalam video yang ditayangkan kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis, 5 November 2020.
Sebelumnya, Tiga Menteri dan Kepala Badan POM- memberikan pernyataan tentang OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) dengan berbagai penekanan untuk: Kemandirian obat nasional, Substitusi importasi bahan baku obat, dan Nilai tambah ekonomi Indonesia.
Kemenristek, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan saat ini 90-95 persen alat kesehatan dan obat nasional masih menggunakan bahan baku impor. Beliau menyebut kebutuhan impor secara bertahap harus diturunkan dengan membangun kemandirian OMAI. Kemandirian obat nasional dapat dibangun dengan mengembangkan dan memanfaatkan biodiversitas yang dimiliki Indonesia, sehingga mengurangi ketergantungan pasokan bahan baku impor.
Pemerintah melalui Kemenristek mendukung adanya hilirisasi riset OMAI atau fitofarmaka. Oleh sebab itu, Menristek mengapresiasi produsen obat yang berhasil membuat produk OMAI yang dihasilkan dari bahan baku dalam negeri.
Tentunya ini menjadi peran pemerintah untuk membantu hilirisasi industri, agar semakin banyak dikonsumsi, dalam hal ini kami akan mengusulkan penggunaan obat-obatan fitofarmaka di program kesehatan pemerintah. Menteri Bambang menyampaikan arahan khusus terkait pengembangan obat fitofarmaka di industri farmasi Indonesia.
Salah satunya fokus dalam pengembangan obat fitofarmaka pada penyakit yang banyak ada di Indonesia. Dengan adanya pengelompokan penyakit bisa difokuskan kebutuhan riset obat yang dibutuhkan. Upaya itu merupakan langkah mendorong kemandirian bahan baku obat nasional sekaligus memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.
Menteri Kesehatan RI., Terawan Agus Putranto mengatakan Pemerintah bersama dengan industri farmasi mengambil langkah cepat untuk melaksanakan Instruksi Presiden No.6 Tahun 2016 tentang Percepatan dan Pengembangan Industri Farmasi Alat Kesehatan. Sejumlah langkah telah dipersiapkan oleh Kementerian Kesehatan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan.
Menkes Terawan mengapresiasi industri yang mendukung strategi Pemerintah dalam mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan, melalui riset penemuan dan hilirisasi produk Obat dan Alkes. Kata kuncinya adalah kerja sama, harus dilakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat proses produksi OMAI. Selain itu, penting juga dilakukan penelitian dan pemasaran yang bagus.
Menteri Perindustrian RI., Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan Industri farmasi merupakan industri strategis yang berdampak pada kebutuhan masyarakat banyak. Apalagi saat ini terjadi wabah Corona, di mana upaya kesehatan masyarakat meningkat tajam, sehingga kebutuhan obat-obatan juga naik.
Terlebih lagi industri farmasi menjadi salah satu industri yang terdampak dengan adanya wabah ini, mengingat 60 persen kebutuhan bahan baku berasal dari China.
Menperin kembali menegaskan bahwa industri farmasi merupakan salah satu industri nonmigas yang menjadi target pertumbuhan industri nasional. Pihaknya sangat mengapresiasi lagkah ke hilirisasi dengan Obat Modern Asli Indonesia.
Ini jelas mempunyai kandungan TKDN 100%, dan ini dapat dimaksimalkan dengan digunakannya OMAI di JKN, selain akan mendapatkan substitusi produk impor farmasi, juga akan mendorong potensi ekspor, agar terjadi multiplier efek untuk semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Badan POM, Penny K. Lukito berharap pengembangan dan hilirisasi riset obat herbal memberikan peluang masuknya obat tradisional- yang dikenal dengan OMAI dapat sebagai alternatif dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.
"Pengembangan OMAI dalam pelayanan kesehatan formal sangat besar. OMAI dapat mengisi kekosongan ketersediaan obat kimia, menjadi komplementer obat kimia, dan sebagai pendukung pengobatan utama," harapnya pada Dialog Bersama Tenaga Ahli "Peran Badan POM Dalam Mengawal Inovasi Produk Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan yang Berdaya Saing" secara daring, pada 21 Oktober 2020.
Brand OMAI Mendunia
Menelisik potensi pasar obat herbal Indonesia di kawasan ASEAN, tentu kita perlu melihat bagaimana caranya agar produk lokal dapat dikenal di dunia internasional. Sebenarnya, tidak sedikit perusahaan-perusahaan bidang kefarmasian yang telah sukses mengenalkan produk jamu di kawasan ASEAN.
Sebut saja Dexa Medica, Kalbe Farma, Martha Tilaar Group, Sido Muncul, Deltomed, Industri Jamu Borobudur, Kino, Air Mancur, dan Jamu Jago. Secara rumpun budaya, diantara anggota MEA sudah tidak asing lagi dengan pengobatan herbal/tradisional di negaranya masing-masing. Lantas, sudahkah para pengusaha obat herbal Indonesia membidiknya secara jitu dan tidak malu-malu?
Populasi pasar ASEAN dengan total penduduk sebesar sekitar 600 juta jiwa, tentunya membuat ASEAN muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia yang akan terus bertumbuh. Terlebih dengan adanya fenomena era back to nature yang melanda dunia juga kawasan ASEAN. Di Manila, banyak dokter baik dari rumah sakit terkenal maupun klinik-klinik seperti Puskesmas yang memberi apresiasi produk herbal Indonesia yang sudah memiliki uji klinis.
Mereka meresepkan obat herbal yang sudah teruji klinis. Dalam perbincangan selanjutnya, diketahui bahwa yang menjadi pertimbangan utama adalah dukungan uji ilmiah. Tidak mempersoalkan, dari mana asal produk itu di produksi.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan product branding dari OMAI berimbas pada kebanggaan nation branding. Menariknya lagi, tidak sedikit produk herbal Indonesia ’mejeng’ di outlet-outlet jaringan apotik terbesar di Manila, Mercury Drug.
Sedangkan di Kamboja, menurut data dari Kementerian Perdagangan RI, neraca perdagangan bilateral Indonesia dan Kamboja pada 2018, mencapai USD 558.619 juta (ekspor Indonesia: USD 525.597 juta, dan impor Kamboja: USD 33.022 juta). Pada periode Januari-April 2019, neraca perdagangan kedua negara mencapai USD 196.266 juta (meningkat 10,48% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018).
Produk Indonesia yang potensial dipasarkan di Kamboja, seperti makanan dan minuman, buah segar (salak), balsam, minyak herbal, obat-obatan (termasuk obat herbal), minyak goreng, kertas dan alat tulis, kerajinan tangan, hingga batik Indonesia mendominasi komoditas ekspor Indonesia ke Kamboja.
Produk OMAI sudah beredar di Kamboja. Dokter-dokter dan juga pengelola apotik di Kamboja mengapresiasi produk-produk herbal Indonesia berbasis uji ilmiah.
Dari pemaparan di atas, untuk sukses masuk pasar global, selain memposisikan product branding yang tepat, juga ada beberapa strategi yang perlu dicermati, yaitu:
- Ciptakan nilai tambah pada produk obat herbal Anda, dan bangun Tim yang kuat untuk memasarkan. Inilah langkah yang harus dilakukan. Perlu juga, mempertimbangan untuk menyesuaikan ’selera’ permintaan konsumen lokal tempat destinasi produk Anda.
- Menetapkan taktik dan strategi promosi yang tepat dan memilih partner bisnis yang handal, dan jika sudah mampu- maka dirikan perusahaan di setiap negara tujuan eskpor Anda.
- Jangan melupakan pasar diaspora Indonesia. Diaspora Indonesia tersebar di berbagai kawasan dunia. Berdasarkan data dari situs diasporaindonesia.org, jumlah diaspora Indonesia sekitar delapan juta orang tersebar di berbagai negara.
*) Karyanto, Founder OMAIdigital.id. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis.