Muhamad Basit Febrian menjelaskan bahwa Photodynamic therapy (PDT) sebagai terapi kanker memanfaatkan cytotoxic ROS untuk menghancurkan sel kanker. |
OMAIdigital.id- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi (PRTPR) dan Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri (PRTRRB) melakukan Riset Pengembangan Nanopartikel Hidroksiapatit-Zirkonium (Zr Dopped HAp) Berbasis Bahan Lokal Indonesia untuk Terapi Fotodinamik Kanker Paru.
Menurut Agensi Internasional untuk Riset Kanker (IARC WHO) sekitar 9,95 juta jiwa meninggal pada tahun 2020. Kanker menjadi penyebab kematian kedua tertinggi di dunia, di mana kanker paru merupakan jenis kanker dengan angka kematian tertinggi yakni mencapai 1,79 Juta jiwa.
Salah satu tim periset PRTRRB BRIN, Muhamad Basit Febrian menjelaskan bahwa Photodynamic therapy (PDT) sebagai terapi kanker memanfaatkan cytotoxic ROS untuk menghancurkan sel kanker.
"Cancer specific photosensitizer (PS) akan terakumulasi pada organ yang terdapat sel kanker. Setelah akumulasi terjadi, penyinaran dilakukan untuk memicu munculnya ROS yang akan menghancurkan sel kanker," jelasnya.
- Berita Terkait: Akses Pasar OMAI pada Sistem JKN Menjadi Solusi Riset Pengembangan Obat Bahan Alam
- Berita Terkait: Pusat Riset OMAI Dexa Group Dikunjungi Menkes. Hilirisasi Obat Bahan Alam Dukung Ketahanan Kesehatan
- Berita Terkait: OMAI STIMUNO Menerima Indonesia Healthcare Award 2024, Dipercaya Keluarga Indonesia Lebih 20 Tahun
Dikutip dari situs resmi BRIN, pengembangan metode terapi kanker paru dengan teknik fotodinamik menggunakan material hidroksiapatit dan zirkonium dapat dikembangkan dari bahan baku berupa Zirkonium yang melimpah di Indonesia.
Peneliti Ahli Utama PRTPR BRIN, Dani Gustaman Syarif, dalam Evaluasi RISPRO Invitasi oleh tim LPDP Kementerian Keuangan di BRIN Kawasan Kerja Bersama (KKB Tamansari) pada Senin, 18 Maret 2024 mengungkapkan, "Zirkon yang tersebar di Indonesia khususnya yang berada di Kepulauan Bangka-Belitung dan Kalimantan belum banyak digunakan untuk bahan maju bernilai tinggi."
Sementara itu ketersediaan hidroksiapatit juga melimpah di alam, terutama pada biomassa dari tulang hewan. Hidroksiapatit nanopartikel (HAp-N) sebagai material host sangat cocok digunakan untuk doping logam sebagai drug deliver. Penggunaan teknik PDT dengan menggunakan HAp-N dan logam hafnium telah dilakukan pada hewan model kanker paru.
"Hewan model kanker tersebut kemudian diberikan penyinaran dengan sinar gamma pada fasilitas radioterapi. Metode PDT ini terbukti menghambat laju pertumbuhan dan menghancurkan sel tumor paru lebih cepat. Selain hafnium, alternatif material lain yang dapat digunakan adalah zirkonium (Zr)," ungkap Isa yang juga periset PRTRRB saat menjelaskan terkait proses pembuatan hewan model kanker.
Isa menyebutkan, kombinasi antara zirconium-hidroksiapatit nanopartikel (Zr-HAp nanopartikel) dan radiasi gamma, diharapkan mampu menjadi salah satu metode alternatif pada terapi sel kanker paru yang efektif.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa PDT banyak digunakan pada terapi kanker yang terletak sekitar lapisan kulit, dengan limitasi daya tembus cahaya tampak yang pendek. Penggunaan sinar berdaya tembus tinggi seperti sinar-X atau gamma banyak digunakan pada radioterapi, karena dapat menjangkau organ dalam. Sinar berdaya tembus tinggi mampu memicu efek fotodinamik pada PDT, terutama kanker paru.
"Pemanfaatan logam zirkonium sebagai substitusi hafnium merupakan golongan unsur yang sama dengan hafnium sehingga memiliki sifat kimia yang mirip. Biokompatibilitasnya yang baik diharapkan memiliki efek terapi yang lebih baik terhadap kanker paru. Penggunaan HAp-Zr bertanda radioaktif untuk studi biodistribusi pada hewan normal dan hewan model kanker dengan teknik nuklir dapat mempercepat pengembangan obat," jelas Isa.
Dani menambahkan bahwa pada tahun ketiga pengembangan ini didapatkan hasil HApZr yang terbukti memiliki potensi sebagai fotosensitizer untuk terapi fotodinamik pada kanker paru secara in-vitro dan in-vivo.
"Pada uji toksisitas akut menunjukkan tidak ada kematian dan gejala klinis yang muncul. Namun potensi adanya sifat hepatotoksik perlu menjadi perhatian. Kedepannya perlu dilakukan uji toksisitas sub-akut dan kronis dengan jumlah hewan lebih banyak pada waktu pengujian yang lebih panjang sebagai pra-syarat uji klinis," tutur Dani.
Di akhir, Kepala PRTPR BRIN, Irawan Sugoro dan Kepala PRTRRB BRIN, Tita Puspitasari berharap agar riset ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat dan adanya masukan serta saran dari tim evaluasi untuk kesempurnaan kegiatan riset kedepannya. Redaksi OMAIdigital.id