Wujudkan Kemandirian Kesehatan, Fitofarmaka Masukan Panduan Praktik Klinis dan BPJS Kesehatan
Tanggal Posting : Sabtu, 15 Juni 2024 | 08:52
Liputan : Redaksi OMAIdigital.id - Dibaca : 1107 Kali
Wujudkan Kemandirian Kesehatan, Fitofarmaka Masukan Panduan Praktik Klinis dan BPJS Kesehatan
Dengan memasukkan Fitofarmaka ke dalam Panduan Praktik Klinis dan BPJS Kesehatan, maka Obat Bahan Alam yang sudah melalui uji klinis akan berkembang karena pasarnya dibuka pemerintah.

OMAIdigital.id- Upaya untuk menjadikan Obat Bahan Alam (OBA) sebagai bagian dari Kemandirian Kesehatan Nasional terus diupayakan oleh para pihak terkait.

Solusi yang dapat segera mendorong hal tersebut adalah dengan memasukkan Fitofarmaka yang sudah tercantum pada Formularium Fitofarmaka ke dalam Panduan Praktik Klinis dan BPJS Kesehatan.

Salah satu yang menyuarakan solusi diatas antara lain: para dokter yang tergabung di dalam organisasi PDPOTJI (Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia).

Ketua Umum PDPOTJI, Dr. (Cand.) dr. Inggrid Tania, M.Si memberikan tanggapannya setelah mengikuti meeting yang diadakan oleh Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 11 Juni 2024.

Menurut Plt. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Budiono Subambang seperti dalam undangannya menyebutkan bahwa rapat para stakeholders ini dalam rangka untuk "Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka."

Rapat yang dihelat pada Selasa, 11 Juni 2024 ini dalam rangka mendorong peningkatan penggunaan produk Farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya pelayanan kesehatan dan mendukung pelaksanaan jaminan kesehatan nasional perlu dilakukan koordinasi yang intensif antara pemerintah, peneliti, pelaku usaha, asosiasi, akademisi dan pemangku kepentingan terkait percepatan pengembangan dan pemanfaatan Fitofarmaka.

Sebagai bentuk dukungan dalam kemandirian obat dan alat kesehatan sesuai Inpres No. 6 Tahun 2016, Kementerian Koordinator Bidang PMK telah menerbitkan Permenko No. 10 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka.

Berikut ini penjelasan dan tanggapan Ketua Umum PDPOTJI, Dr. (Cand.) dr. Inggrid Tania, M.Si, sebagai salah satu peserta rapat terserbut diatas:

Jadi rapat yang digagas oleh Kemenko PMK Tentang strategi percepatan pengembangan dan pemanfaatan Fitofarmaka. Karena kan memang yang Satgas percepatan pengembangan dan pemanfaatan Fitofarmaka itu kan memang dibawah koordinasi Kemenko PMK, pembangunan manusia dan kebudayaan.

Nah sebetulnya Satgas itu sudah ada beberapa tahun yang lalu ya, tapi kurang berjalan dengan cepat program-programnya atau kegiatan-kegiatannya, sempat agak mandek.

Tapi ini mulai ada semangat lagi untuk mengaktifkan Satgas percepatan pengembangan dan pemanfaatan Fitofarmaka. Terlebih mungkin dipicu adanya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Kemudian juga ada Formularium Fitofarmaka, jadi ini akan digiatkan lagi.

Dalam Satgas tersebut, ada bidang-bidangnya, antara lain ada bidang bahan baku, obat-bahan alam, dimana Ketuanya Dirjen Hortikultura Kementan, kemudian bidang yang kedua bidang teknologi manufaktur, Ketuanya Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN.

Kemudian yang bidang ketiga itu, bidang uji praklinik dan uji klinik- Ketuanya Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM.

Kemudian yang keempat adalah bidang produksi dimana Ketuanya Dirjen Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kemenperin, kemudian yang terakhir itu ada bidang promosi dan pemanfaatan Fitofarmaka di Pelayanan Kesehatan- Ketuanya Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes.

Jadi yang terkait bidang 5, promosi dan pemanfaatan fitofarmaka di pelayanan kesehatan. Kan sesuai nama bidangnya ya, bidang 5, promosi dan pemanfaatan fitofarmaka di pelayanan kesehatan.

Maka pandangan kami adalah, seharusnya ketuanya adalah Dirjen Yankes atau Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes seharusnya- bukan Dirjen Kesmas, karena Fitofarmaka bukan lagi obat tradisional. Fitofarmaka itu obat bahan alam, pengembangannya juga secara konvensional, penelitian secara konvensional, pemanfaatan atau pemakaian juga kan secara konvensional di pelayanan kesehatan.

Jadi itu memang seharusnya di Dirjen Yankes, nah ada pun kalau Dirjen Kesmas itu dapat sebagai Wakil Ketuanya. Ini kan kebalik, kalau Pak Karyanto baca surat undangan yang Pak Karyanto juga punya itu, kan Ketuanya malah Dirjen Kesmas, Wakil Ketuanya Dirjen Yankes.

Seharusnya dibalik, kalau kita ingin Fitofarmaka itu dapat dipakai di pelayanan kesehatan konvensional, seharusnya itu dibalikkan, harusnya ketuanya Dirjen Yankes, wakil ketuanya Dirjen Kesmas misalnya. Jadi itu maksud saya, Dirjen Kesmas itu ada di bidang 5 itu, Dirjen Yankes juga ada di bidang 5, tapi seharusnya mereka bertukar posisi.

Nah PDPOTJI sendiri perkumpulan dokter pengembang obat tradisional dan jamu Indonesia itu berada di bidang lima. Ini bidang promosi dan pemanfaatan Fitofarmaka di pelayanan kesehatan, Karena memang peran kami sebagai dokter kan tentu terkait sangat dekat dengan bidang promosi dan pemanfaatan Fitofarmaka di pelayanan kesehatan.

Solusi yang Diusulkan PDPOTJI untuk Percepatan Fitofarmaka

Kemenko Perekonomian juga sedang menyusun rencana teknokratik untuk strategi. Strategi percepatan pengembangan obat-bahan alam menjadi Fitofarmaka, sehingga rapat yang terakhir kemarin itu mengumpulkan masukan-masukan dari berbagai stakeholders.

Jadi rapat yang terakhir ini memang baru sebatas semacam brainstorming mengumpulkan masukan-masukan terkait strategi percepatan ya, Strategi percepatan pengembangan dan pemanfaatan Fitofarmaka.

Dari PDPOTJI sendiri sebetulnya saya sudah sampaikan ke Pak Karyanto juga tentang apa yang sudah kami sampaikan pada FGD Badan POM pada hari jamu nasional yang lalu.

Pada intinya kami kembali menggaungkan lagi masukan kami terutama terkait supaya Fitofarmaka ini minimal Fitofarmaka yang ada di Formularium Fitofarmaka- ada lima itu dapat dimasukkan di dalam PPK yaitu Panduan Praktik Klinis di FKTP.

 Nah ini sebetulnya sangat penting sekali ya, karena kalau Fitofarmaka ini masuk di PPK para dokter yang selama ini juga sebetulnya ada rasa khawatir, ini saya salah nggak ya- kalau saya meresepkan Fitofarmaka misalnya.

Nah ini artinya kalau ada di PPK, para dokter tidak khawatir disalahkan lagi, sehingga itu memang betul-betul menjadi pedoman. Pedoman yang dipakai dokter ketika berada di FKTP,  namun beberapa waktu yang lalu dari organisasi profesi ID tahun 2022 belum setuju. Saat itu, menyatakan Fitofarmaka cukup disosialisasikan lewat seminar-seminar.

Kalau bagi kami itu tidak cukup begitu, karena kalau disosialisasikan di seminar-seminar- itu sudah sering sekali sudah dari sejak tahunan yang lalu. Jadi Fitofarmaka ini perlu ada di PPK- sehingga  secara resmi dapat dipakai atau bahkan dianjurkan dipakai di pelayanan kesehatan.

Kalau tidak tertulis dalam suatu panduan atau pedoman, seperti panduan praktik klinis ini dokter juga merasa tidak didorong. Nanti kalau saya meresepkan- nanti saya salah lagi gitu ya..., jadi atas dasar itu maka kami kembali lagi menggaungkan masukan tersebut.

Nah dengan adanya regulasi Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023, kalau seandainya dari organisasi profesi belum kooperatif, langkah ini sebetulnya dapat dilaksanakan langsung oleh kementerian kesehatan.

Sebetulnya kami mau menyampaikan masukan supaya Ditjen Yankes, Ditjen Pelayanan Kesehatan terutama Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer- seharusnya ada di Satgas Percepatan dan Pengembangan Fitofarmaka, karena ini kalau pemanfaatan pasti terkaitnya dengan pelayanan kesehatan dan itu sebetulnya dibawah Ditjen Yankes, Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes.

Kemudian yang kedua kami kembali lagi mengusulkan,i agar betul-betul dihasilkan, dapat dihasilkan regulasi yang menetapkan bahwa Fitofarmaka di cover oleh JKN BPJS Kesehatan, ini memang juga lebih sulit lagi.

PPK saja sudah sulit apalagi Fitofarmaka dimasukkan ke dalam JKN BPJS Kesehatan, tapi ini semua kalau kita niatkan dan upayakan secara sungguh-sungguh- sebetulnya dapat saja. Ini semua tergantung kemauan atau political will dari regulator untuk yang menseleksi Fitofarmaka yang dapat dicover oleh JKN BPJS Kesehatan. juga bisa dipilih para pakar yang memang ahli di bidang ini dan juga memang sangat mendukung dicovernya Fitofarmaka ke dalam JKN BPJS Kesehatan.

Sehingga yang tim seleksi ini tidak lagi beranggotakan pakar-pakar yang justru tidak mendukung justru harusnya tim seleksi ini beranggotakan pakar-pakar yang memang mendukung dimasukkannya Ffitofarmaka ke dalam JKN BPJS Kesehatan ya di covernya.

Memang itu saja ya.... yang sempat kami sampaikan sebagai masukan utama, karena kalau masukan-masukan lain juga sudah banyak disampaikan oleh peserta rapat ya, seperti misalnya masukan dalam bidang pertaniannya, budidayanya, kemudian standarisasinya, kemudian produksinya.

Kemudian bagaimana regulasi penelitian mulai dari uji praklinik sampai uji klinik, bagaimana metodenya, itu sudah banyak dibahas, sedangkan yang pemanfaatan ini yang harus lebih digenjot lagi. Karena fitofarmaka yang ada sekarang ini kan sayang sekali ya kalau tidak optimal dimanfaatkan, kalau yang sudah ada ini bisa optimal dimanfaatkan itu akan mendorong percepatan pengembangan OHT misalnya atau jamu yang memang berpotensi menjadi Fitofarmaka. Redaksi OMAIdigital.id


Kolom Komentar
Berita Terkait

Copyright 2024. All Right Reserved

@omaidigital.id

MENULIS sesuai FAKTA, MENGABARKAN dengan NURANI

Istagram dan Youtube: