![]() |
| BRIN gelar Webinar Nasional Peluang dan Tantangan Riset dalam Pengendalian Penyakit Tropis Terabaikan di Indonesia. |
OMAIdigital.id- Penyakit Rickettsiosis telah dilaporkan menjangkit seluruh wilayah di dunia baik pada masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Rickettsiosis adalah penyakit zoonosis yang diakibatkan oleh bakteri dari genus rickettsia dan orentia.
Penyakit ini juga diketahui sebagai salah satu penyakit tular vektor tertua dengan vektor penularnya adalah arthropoda seperti pinjal, kutu, caplak, dan tungau.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Organisasi Riset Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), NLP. Indi Dharmayanti saat membuka Webinar Nasional Peluang dan Tantangan Riset dalam Pengendalian Penyakit Tropis Terabaikan di Indonesia: "Rickettsiosis: Permasalahan dan Tantangan bagi Kesehatan Masyarakat" pada Selasa, 26 September 2023 yang berlangsung secara virtual.
Indi Dharmayanti menjelaskan "Rickettsiosis telah dilaporkan menjadi penyebab umum kedua dari penyebab demam non malaria di kawasan Asia Tenggara setelah infeksi dengue. Hingga saat ini diagnosis klinis rickettsiosis yang akurat pada fase awal penyakit, sulit dilakukan dan masih sangat tergantung pada hasil investigasi epidemiologis, sehingga seringkali tidak terdiagnosis"
- Berita Terkait: OMAI Dexa Medica Meraih Penghargaan Indonesia Healthcare Innovation Awards 2021
- Berita Terkait: OMAI Dexa Medica Menerima Trofi Primaniyarta Award 2021
- Berita Terkait: Dukungan Kuat Pemerintah untuk Kemandirian Obat. Tingkatkan Penggunaan OMAI di Yankes
Lebih lanjut, ia menyampaikan rickettsiosis masuk dalam daftar penyakit yang terabaikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan fasilitas laboratorium dalam mendiagnosis penyakit ini sehingga menjadi jarang terlaporkan.
Dilansir dari website resmi BRIN, Indi berharap adanya webinar ini sebagai salah satu langkah strategis dalam mengetahui permasalahan, identifikasi, diagnosis, dan pengendalian rickettsiosis di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN (PRKesmazi), Wahyu Pudji Nugraheni mengungkapkan bahwa informasi mengenai penyakit ini dan beban penyakit yang ditimbulkan, tingkat endemisitas dan upaya pengendalian yang dapat dilakukan masih sangat terbatas dan belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Ia berharap melalui webinar ini dapat memberikan informasi yang aktual mengenai rickettsiosis dan masalahnya di Indonesia, selain itu dapat membuka cakrawala kembali bagi kita semua mengenai pentingnya keberadaan penyakit ini dan potensi penularan rickettsiosis secara luas.
"Semoga pada webinar ini muncul ide-ide penelitian terbaru, inovasi dan kerjasama yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam identifikasi tata laksana serta pencegahan dan pengendalian penyakit ini," ucapnya.
Ia menambahkan, lebih jauh kegiatan ini dapat memperkaya khasanah diskhusus akademik yang berkontribusi positif bagi pembangunan kesehatan masyarakat, dan sebagai sivitas BRIN hal ini merupakan salah satu bentuk tanggungjawab untuk memajukan ilmu pengetahuan, khususnya pembangunan manusia di bidang kesehatan.
Kemudian Ristiyanto, Peneliti Ahli Madya PR Kesmazi BRIN memaparkan Sebaran Vektor Rickettsiosis (Pinjal dan Tungau Trombikulid) di Indonesia.
Ia mengatakan di Indonesia, walaupun penelitian tentang rickettsiosis pada manusia masih sangat terbatas, tetapi penelitian tentang mamalia kecil terinfeksi rickettsiosis telah dilakukan di beberapa daerah.
"Hasil penelitian di Indonesia diperkirakan ada 36 spesies pinjal, dimana pinjal tikus Xenopsylla cheopis merupakan vektor utama murine typhus dan pinjal kucing Ctenochepalides felis berperan sebagai vektor sekunder," tuturnya.
Lebih lanjut, Ia juga menyampaikan hasil survei Rikhus Vektora telah ditemukan 85 jenis tungau trombikulid. "Ini belum semua sampel dari lokasi penelitian diperiksa, semoga sampelnya tidak rusak dan bisa dilakukan identifikasi selanjutnya," tuturnya.
Disampaikan juga, ada empat jenis tungau trombikulid yang ditemukan dan telah diketahui sebagai vektor scrub typhus yaitu Leptotrombidium deliensis, L. arenicola, L. fletcheri, dan L. scutellare.
Menurutnya, penelitian spesies pinjal dan tungau trombikulid yang berperan dalam penularan rikettsiosis, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan, baik secara konvensional maupun molekuler.
"Saya berharap paramedis dan masyarakat di daerah-daerah penelitian perlu mendapatkan informasi tentang rickettsiosis, agar segera dapat terdeteksi dan dilakukan pencegahannya," ucapnya.
Narasumber lainnya dari Tim Kerja Zoonosis, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI (Ditjen P2P Kemenkes RI), Yullita Evarini Yuzwar, menyampaikan Kebijakan Pengendalian Rickettsiosis di Indonesia.
Ia berharap dari webinar ini bisa mendapatkan data ataupun kajian yang bisa dilakukan bersama-sama agar bisa melihat seberapa besar beban dari penyakit ini di masyarakat, sehingga bisa melakukan langkah dalam pencegahan dan pengendaliannya.
Sementara itu, Dewi Lokida dari RSUD Kabupaten Tangerang/INA-RESPOND menyampaikan Rickettsiosis: The Forgotten Disease.
Ia meminta pada bagian klinis dan laboratorium jangan lupa membuat diagnosis banding rickettsia semua pasien demam, dan berharap rickettsiosis dapat masuk ke dalam salah satu program di Kementerian Kesehatan.
"Terutama dalam pendekatan diagnosisnya, karena jika kita sudah memiliki pendekatan diagnosisnya kita akan memperoleh data," tuturnya.
Kartika Saraswati, dari Oxford University Clinical Research Unit Indonesia, menyampaikan Geographical distribution of scrub typhus and risk of Orientia tsutsugamushi infection in Indonesia: Evidence Mapping.
Kartika menyampaikan tujuan penelitian ini untuk mengatasi masalah - masalah yang ada dengan mengkategorikan daerah-daerah secara geografis berdasarkan bukti yang ada tentang kemampuan mereka untuk memelihara vektor infeksius dari scrub typhus.
Ia juga mengatakan, penyakit ini kurang diakui dan tidak banyak dipelajari, sehingga datanya masih sangat kurang.
"Hal ini disebabkan karena susahnya diagnosis, dan secara klinis susah dibedakan dengan penyakit lain, dan laboratoriumnya tidak tersebar dengar luas. Karena tidak ada gambaran yang baik, beban dan distribusi penyakit ini di Indonesia masih tidak diketahui dengan baik," paparnya.
Ia menambahkan bahwa kekurangan informasi ini membuat adanya siklus, jadi kurang diakui dan tidak diperhatikan sehingga sulit bagi peneliti untuk mencari pendanaan untuk penelitian.
Di akhir Webinar, Ketua Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor Zoonosis PR Kesmaszi BRIN Muhammad Choirul Hidajat berharap rickettsiosis menjadi perhatian bagi semua kalangan.
Menurut Choirul, saat ini kita masih menghadapi banyak tantangan, dan belum menjadi diagnosis banding bagi klinisi di Indonesia dimana semua kasus yang ditemukan positif ternyata tidak satupun terdiagnosa sebagai rickettsiosis.
"Selain itu belum adanya standar penegakan diagnosis, distribusi vektor masih belum terpetakan dengan baik dan peran masyarakat dan pengendalian rickettsiosis masih sangat terbatas," pungkasnya. Redaksi OMAIdigital.id



















