Keterangan Foto dari kiri-kanan: Menteri Riset dan Teknologi RI, Bambang PS Brodjonegoro, Wakil Menteri Kesehatan RI., Dante Saksono Harbuwono, dan Presiden Direktur PT. Dexa Medica, Ferry Soetikno. |
OMAIdigital.id- Skema pengadaan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) dalam sistem JKN dan keberpihakan dokter menggunakan obat herbal Indonesia yang sudah teruji klinis, diyakini dapat menjadi awal menuju kemandirian obat nasional.
Demikian diungkapkan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Nasional (Menristek/BRIN), Bambang PS Brodjonegoro saat dialog pada Webinar Series Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) pada sesi ke-2, Kamis, 25 Maret 2021.
Bambang Brodjonegoro menjelaskan bahwa di dalam prioritas riset nasional, ada yang kategorinya OMAI. Target kita itu Fitofarmaka, tetapi memang untuk mencapainya prosesnya panjang dan mahal.
Panjang dalam artian tadi ada sistematik review dan bioinformatika. Jadi tahapan di laboratoriumnya sudah cukup panjang dan setelah itu memang yang paling berat adalah uji klinis.
- Berita Terkait: OMAI Konsep Bersama Brand Obat Herbal Indonesia
- Berita Terkait: Bioekonomi Pengembangan OMAI untuk Substitusi Impor
- Berita Terkait: Kisah Sukses DLBS Dexa Medica Riset Obat Herbal Bioactive Fraction
Karena tentunya harus ada uji klinis untuk memastikan obat itu berkhasiat dan cocok dengan penyakitnya. "Pertama obatnya aman dan yang kedua efikasinya," urai Menristek.
Nah ini, syarat dari Badan POM yang harus dipenuhi. Inilah yang membuat OMAI sampai hari ini belum banyak, OMAI yang Fitofarmaka.
"Kita harapkan kedepannya akan makin banyak, tetapi kuncinya mungkin nanti harus dijawab oleh Dr. Dante (Wakil Menteri Kesehatan RI.-Red.), kuncinya adalah harus ada pengadaan dari pemerintah," tutur Menristek dengan nada bertanya.
Karena kalau produsen mau sampai kepada Fitofarmaka dari OMAI tadi itu, kan investasinya mahal. Kalau investasinya sudah mahal, pasti diharapkan ada return yang besar. Return yang besar akan muncul kalau ada market yang jelas. Nah market yang jelas obat-obatan itu adalah masuk dalam JKN. Nah ini, sayangnya yang sampai sekarang belum ada, lanjut Menristek.
Kalau ini sudah besar dan makin banyak pemesanan atau order dari JKN untuk keperluan di BPJS dan juga satu lagi yang paling penting, kesadaran dari dokter-dokternya sendiri. Tentunya kita harapkan kalau sudah lolos uji klinis dokter-dokter di Indonesia mempunyai keberpihakan untuk memakai OMAI itu sendiri.
Kalau misalnya ada obat diabetes dari Fitofarmaka, ya pakailah yang itu yang buatan Indonesia. Jadi jangan bergantung dengan obat-obatan dari luar yang mungkin sering dipakai dimasa lalu. Jadi memang harus ada keberpihakan baik dari pemerintah melalui regulasi JKN atau dari user dokter itu sendiri, tegas Bambang Brodjonegoro mengakhiri tanya jawab dengan peserta.
dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D, Wakil Menteri Kesehatan RI. mengutarakan bagaimana kita mengawal produk obat-obatan itu dapat dipercaya oleh masyarakat, itu sebagai dasarnya. Dasarnya adalah kita melakukan pendampingan dalam hal: Satu: mempunyai Good Laboratory Practice (GLP), Kedua: Good Manufacturing Practice (GMP), dan Ketiga: Good Clinical Practice (GCP).
Jadi kalau tiga tersebut sudah kita lakukan pendampingan, maka sesungguhnya tidak ada keraguan untuk menyamakan produk obat tersebut dengan obat-obat yang lain. Persis seperti yang disampaikan Pak Bambang (Menristek -Red.) tadi bahwa bagaimana keberpihakan kita setelah kita melakukan tiga hal tersebut: keberpihakan kita menggunakan obat-obat tersebut.
"Dan obat-obat tersebut harus ada dalam list katalog JKN dan Formularium obat-obatan, sehingga dengan begitu pemakaiannya akan lebih baik," ungkap dr. Dante.
Menanggapi pernyataan Menristek dan Wakil Menkes tersebut, Ferry Soetikno, Presiden Direktur PT. Dexa Medica mengatakan: "Saya sepakat memang bahan baku obat 90-95% masih impor. Dan secara bertahap, kita sudah menyediakan beberapa kandidat. Terutama dari Dexa Medica bahan baku obat herbal yang sudah kami siapkan.
"Dan saya tertarik bahwa Bapak telah memberikan satu penekanan pada nilai TKDN dibawah empat puluh, atau kisaran 35-40. Bahan baku obat yang dari herbal yang kami kembangkan selama ini ,dan sampai status Fitofarmaka. Kami laporkan kepada Bapak Wakil Menteri Kesehatan, bahwa kami memiliki nilai TKDN sekitar 80-82," papar Ferry Soetikno yang pada kesempatan webinar ini juga menjadi salah satu panelis.
Dan saya kira ini, lanjut Ferry Soetikno, suatu nilai tambah yang dapat menjawab concern terkait TKDN dibawah 40. Kemudian yang ketiga, saya sepakat dengan Bapak Wakil Menteri Kesehatan bahwa pemilihan area itu sangat penting karena komponen biaya. Dalam hal ini, kami memiliki tiga kandidat yang berstatus Fitofarmaka dan akan diusulkan masuk dalam JKN.
Satu untuk diabetes mellitus. Kedua kita tadi bicara mengenai anti trombolitik dan yang ketiga untuk penyakit kronis disaluran pencernaan. Saya kira tiga produk kandidat ini dapat kita kaji bersama, Ferry Soetikno menyampaikan kesiapannya.
"Dalam pengembangan, kami memang ditingkat riset biomolekuler. Dan kita sudah memastikan uji praklinik dan uji klinik untuk memastikan efikasi kemanjuran obat itu, tetapi juga mengenai masalah safety. Kami sangat peduli dengan masalah safety ini," tegas Ferry Soetikno.
Kini sejumlah OMAI sudah masuk e-Katalog, dan diharapkan dalam waktu dekat dapat dimasukkan ke dalam Formularium Obat Herbal sehingga dapat menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan di BPJS.
Ketua Umum PDHMI, Dr. dr. Slamet Sudi Santoso, M.Pd.Ked. dalam berbagai kesempatan memberikan dukungannya untuk penggunaan OMAI di pelayanan kesehatan. Bahkan hal itu juga ditegaskan pada saat PIT PDHMI 2021 yang berlangsung pada 20-21 Maret 2021 dan 27-28 Maret 2021. "OMAI harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri, negara Indonesia," pungkasnya. Redaksi OMAIdigital.id