![]() |
Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) Fitofarmaka telah sukses dipasar nasional dan global akan berdampak multiplier effect jika masuk JKN. |
OMAIdigital.id- Multiplier effect sering diartikan sebagai efek berganda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), efek berganda alias multiplier effect adalah pengaruh yang makin meluas yang ditimbulkan oleh satu kegiatan yang selanjutnya akan memengaruhi kegiatan lain.
Artinya, pengertian multiplier effect yaitu efek yang muncul saat adanya intervensi yang dilakukan.
Dimasukkannya Fitofarmaka dalam Sistem JKN BPJS Kesehatan, diyakini oleh banyak pihak akan memberikan multiplier effect dalam banyak hal terkait (stekholders).
Redaksi OMAIdigital secara serial akan menurunkan artikel tentang Multiplier Effect Fitofarmaka jika masuk dalam Sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)- BPJS Kesehatan-sebagai bagian dari proses hilirisasi sektor Farmasi memanfaatkan kekayaan Obat Bahan Alam (OBA) Nusantara.
Fitofarmaka yang dalam beberapa tahun terakhir dikenalkan sebagai brand Obat Modern Asli Indonesia (OMAI)- sejatinya telah sukses di pasar nasional dan pasar global, serta telah diresepkan oleh puluh ribu dokter di ASEAN.
- Berita Terkait: Tahun 2025 ini, Menkes Mengurus Fitofarmaka OMAI Masuk Fornas JKN
- Berita Terkait: Breaking News...Menkes: Peraturan Fitofarmaka Masuk Fornas Sudah Selesai
Berikut ini pendapat Ketua Umum PDPOTJI, DR. (Cand.), dr. Inggrid Tania, M.Si (Herbal):
"Jadi saya berharap sekali kebijakan Fitofarmaka masuk JKN betul-betul direalisasikan pemerintah, dalam hal ini Mentei Kesehatan sesuai dengan beberapa berita online terkait dengan hal ini," ungkap DR. (Cand.), dr. Inggrid Tania, M.Si (Herbal) kepada Redaksi OMAIdigital pada 21 Maret 2025.
Memang yang penting sebetulnya realisasinya, kalau rencana sudah dari dulu rencana-rencana dan dan untuk realisasi ini ada tiga pihak yang sangat menentukan.
Pertama- sebetulnya tidak hanya Menteri Kesehatan tetapi juga Kepala BPJS Kesehatan. Jadi ada dua otoritas lembaga pemerintahan yaitu Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan.
Tapi juga ada yang memiliki otoritas yaitu tim seleksi Fitofarmaka. Ada tim seleksi obat dan Fitofarmaka salah satu sub kelompok timnya adalah tim seleksi Fitofarmaka.
Nah ini yang saya pikir perlu betul-betul yang berada di tim seleksi Fitofarmaka adalah yang memang mendukung Fitofarmaka masuk JKN.
"Mohon maaf kalau untuk tim seleksi Fitofarmaka yang ada sampai saat ini setahu saya- ada yang memang tidak mendukung Fitofarmaka masuk JKN."
Sangat penting sekali terutama bagaimana memilih tim seleksi Fitofarmaka yang full support dalam mendorong bahkan mengusulkan langsung dari tim seleksi Fitofarmaka ini untuk memasukkan Fitofarmaka ke JKN.
Kalau selama ini, misalnya suatu regulasi atau kebijakan itu membutuhkan studi dan feasibility, dari kebijakan di luar negeri- sebetulnya mudah saja untuk dilakukan.
Kita dapat mencontoh apa yang sudah ada di negara-negara yang sudah memasukkan obat bahan alam ke dalam asuransi kesehatan nasional. Saya sudah sering sekali menyebut Jepang- disamping sebenarnya ada Cina, ada Korea.
Tetapi sebenarnya yang role modelnya paling cocok itu Jepang, karena disana semua obat bahan alam yang sudah memiliki bukti evidence based memang diterapkan dalam pelayanan kesehatan formal konvensional.
Nah apa hal positif dari kebijakan Fitofarmaka masuk di JKN ini bagi semua stakeholders tentu yang pertama adalah stakeholders dari masyarakat itu sendiri atau pasiennya sebagai stakeholders yang paling besar.
Kita tahu bahwa kalau kita melihat berbagai survei ataupun riset dasar itu sebenarnya kan dari beberapa tahun itu saja sudah sangat terlihat bagaimana masyarakat Indonesia itu sebagian besarnya itu percaya dan memilih pengobatan tradisional.
Pelayanan kesehatan tradisional diantaranya adalah obat herbal atau obat bahan alam dengan dirubahnya dengan terminologi obat tradisional menjadi obat bahan alam di undang-undang kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 justru itu sebetulnya menjadi suatu kemudahan untuk dapat mencapai kebijakan Fitofarmaka masuk ke JKN.
Karena obat bahan alam itu adalah sediaan farmasi yang sebetulnya kedudukannya sejajar dengan obat konvensional- yang intinya sama-sama sediaan farmasi.
Kedua stakeholdersnya tentu adalah produsen Fitofarmaka secara khusus dan juga para produsen obat bahan alam diantaranya produsen Jamu dan OHT secara umum, karena kalau misalnya Fifofarmaka masuk JKN- tentu yang langsung memeiliki dampak adalah produksi Fitofarmaka dapat lebih massal produksinya.
Artinya dalam skala yang lebih besar, dengan skala produksi yang lebih besar tentu biaya produksi akan dapat diturunkan dan harga dapat semakin ditekan. Kemudian juga karena Fitofarmaka ini dapat dicover oleh JKN, maka ini akan menjadi semacam stimulus untuk para produsen obat bahan alam berlomba-lomba memproduksi Fitofarmaka.
Karena mereka punya harapan yang lebih pasti bahwa Fitofarmaka dicover oleh JKN. Jadi secara tidak langsung juga, pemakaian Jamu dan OHT juga akan ikut meningkat.
Jadi misalnya kalau Fitofarmaka karena sudah dicover oleh JKN, maka akan ikut meningkat juga pemakaian Jamu dan OHT pada pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Walaupun Jamu dan OHT tersebut belum dicover BPJS Kesehatan atau belum masuk JKN, tetapi setidaknya karena Fitofarmaka sudah masuk JKN, sehingga pemakaian Fitofarmaka juga pastinya akan makin meningkat di berbagai pasien Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dan berhubung Fitofarmaka ini jenisnya belum dapat digunakan pada semua pengobatan di beberapa penyakit utama, tetapi penggunaan Jamu dan OHT yang belum ada Fitofarmaka dapat dipergunakan dan itu juga akan meningkatkan pemakaian Jamu dan OHT.
Saya contohkan. misalnya saat ini belum ada Fitofarmaka penurun kolesterol atau anti dyslipidemia, misalnya atau belum ada Fitofarmaka untuk gangguan fungsi liver misalnya. Karena belum ada Fitofarmaka maka Jamu atau OHT akan dapat digunakan.
Fitofarmaka juga banyak memberikan harapan peningkatan kesejahteraan kepada banyak petani yang termotivasi menanam tanaman obat karena mereka menjadi lebih pasti menjadi makin yakin bahwa apa yang mereka hasilkan apa yang mereka tanam itu dapat diserap sepenuhnya oleh industri fitofarmaka.
Artinya semakin banyak TKDN dari Fitofarmaka itu juga akan semakin memberi dampak positif kesejahteraan kepada petani.
Kemudian manfaat lainnya dari stakeholders misalnya peneliti. Peneliti itu kan ada di perguruan tinggi, peneliti ada di institusi swasta juga ada, kemudian ada di lembaga penelitian pemerintah, maka para peneliti tentu akan juga semakin terdorong untuk meneliti ataupun menghasilkan Fitofarmaka sehingga semakin banyak lagi.
Misalnya mendorong kerjasama antara peneliti dengan industri kemudian hal positif lainnya adalah bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan masuknya Fitofarmaka ke dalam JKN tentu tenaga medis dan tenaga kesehatan tentu akan makin banyak yang memakai Fitofarmaka ya dokter-dokter akan lebih banyak yang meresepkan.
Ssehingga kalau semakin banyak dibutuhkan pemakaian atau peresepan fitofarmaka maka tenaga medis dan tenaga kesehatan juga akan terdorong untuk selalu meningkatkan pengetahuannya terus meningkatkan pengetahuan terus meningkatkan kemampuan dalam hal pengobatan integratif.
Misalnya pengobatan integratif yang mengkombinasikan obat bahan alam khususnya Fitofarmaka dengan pengobatan konvensional atau kedokteran konvensional dan bahkan juga ada sebagian Fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai alternatif daripada obat konvensional, sehingga para tenaga medis dan tenaga kesehatan juga akan semakin meningkatkan kompetensinya dalam penggunaan Fitofarmaka.
Maka sebagai obat alternatif atau pengganti dari obat konvensional pada beberapa kondisi penyakit ringan, misalnya kemudian tentu yang nanti efek positif lainnya yang ikut terbawa adalah dalam hal pendidikan tenaga medis dan pendidikan tenaga kesehatan.
Msalnya mulai dari level sarjana itu misalnya sarjana kedokteran, sarjana farmasi misalnya akan juga kurikulumnya menginsersikan obat bahan alam termasuk didalamnya Fitofarmaka dalam muatan atau bobot yang lebih besar maka hal ini misalnya tidak hanya membuat fakultas kedokteran maka banyak yang memiliki modul elektif herbal di pendidikannya.
Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan atau membuka peluang seperti di Jepang dimana kurikulum di pendidikan kedokteran dan juga farmasi itu bahkan mewajibkan setiap prodi memasukkan kurikulum kampo atau herbal ke dalam kurikulum inti.
Kemudian hal positif lainnya tentu saja masalah ketahanan obat-obatan. Ketahanan nasional artinya itu akan secara bertahap akan membuat kita lebih mandiri. Artinya tidak mengurangi ketergantungan bahan baku obat maupun obat dari impor tapi kita dapat secara mandiri memproduksi bahan obat maupun obat yaitu Fitofarmaka dengan bahan obat berupa simplisia-simplisia tanaman obat.
Kita dapat memanfaatkan sumber daya alam kita tanaman obat kita sebagai bahan baku obat atau bahan baku obat-bahan alam dalam hal ini Fitofarmaka, maka tentu kita akan tidak akan terlalu merasakan dampak dari pandemi dalam hal ini kita tidak terlalu mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan kita.
Apalagi key points dari hal positif dari kebijakan Fitofarmaka masuk JKN itu adalah kita dapat menjadi negara rujukan medical tourism. Ini bukan hal yang mustahil, jadi misalnya kita memiliki keunggulan dari obat-bahan alam khususnya Fitofarmaka yang misalnya karena sudah dicover oleh JKN maka Fitofarmaka ini semakin banyak dipakai di Fayankes bahkan juga dipakai di Fasyankes dengan pasien-pasien yang tidak menggunakan BPJS Kesehatan. Redaksi OMAIdigital.id